
بسم الله الرّحمن الرّحيم
al-Ustadz
Zakariya as-Samarindy
Tren meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar patut
mendapat perhatian berbagai kalangan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) memperoleh fakta bahwa saat ini makin sulit menemukan remaja
putri yang perawan (virgin) di kota-kota besar. Berdasar survei yang diadakan
di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, BKKBN menemukan bahwa separo remaja
perempuan sudah melakukan seks sebelum menikah. Bahkan, tidak sedikit yang
hamil di luar nikah.
Rentang usia remaja perempuan yang pernah berhubungan seks di luar nikah itu
13–18 tahun atau usia ABG (anak baru gede). ’’Kami melakukan survei terhadap
100 remaja perempuan. Hasilnya, 51 orang di antara mereka sudah tidak
perawan,’’ ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief di sela peringatan Hari AIDS
Sedunia di Lapangan Parkir Monas, Jakarta, kemarin (28/11). Temuan serupa juga
didapati di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, survei
yang sama dilakukan di Surabaya, Medan, Bandung, dan Jogjakarta. Hasilnya,
remaja perempuan lajang di Surabaya yang sudah hilang kegadisannya 54 persen Di
Medan jumlahnya 52 persen, Bandung 47 persen, dan Jogjakarta 37 persen. Menurut
Sugiri, data itu dikumpulkan BKKBN lewat survei sepanjang 2010. (Nukilan
dari BKKBN.GO.ID)
Miris membaca artikel diatas, terlepas valid atau tidak
hasil survey diatas, dan juga sedikitnya sampel survey yang dianggap bisa
mewakili jumlah remaja putri yang jutaan jiwa, maka sesuatu yang tidak bisa
dipungkiri bahwa saat ini perilaku seks bebas pada remaja sudah begitu mewabah
dan menjadi sesuatu yang sudah dianggap “biasa”. Bahkan sampai ada
anggapan di kalangan remaja, kalau di zaman sekarang ini , pacaran tanpa
sex maka ketinggalan zaman. Naudzubillah, dan ini adalah buah dari
serangan pola pikir orang kafir dengan gaya hidup mereka yang datang
melalui berbagi media ditambah lagi kurangnya pembekalan agama setiap keluarga
pada putra-putrinya.
Dan perilaku seks bebas tersebut berbuntut dengan
banyaknya remaja putri yang hamil di luar nikah, dan kemudian karena tidak
ingin menanggung malu maka orangtuanya pun menikahkan remaja tersebut baik
dengan laki-laki yang telah berzina dengannya ataupun terkadang dengan
laki-laki lain hanya untuk sekedar menutup aib.
Bagaimana pandangan syariat
islam terhadap pernikahan ini ??
Ibnul Qoyyim Rahimahullahu dalam
kitab beliau Zaadul Ma’ad ketika mengomentari hadits Abu
Darda Rhadiyallahu ‘anhu :
أَنّ النّبِيّ صَلّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَتَى بِامْرَأَةِ مُجِحّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ ”
لَعَلّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمّ بِهَا ” . فَقَالُوا : نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ
اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ” لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا
يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلّ لَهُ كَيْفَ
يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلّ لَهُ
Artinya : Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melewati seorang wanita
(tawanan) yang hamil berada di depan tenda besar, lantas beliau bersabda:
Sepertinya tuannya ingin menggaulinya. Mereka (para sahabat) menjawab;
Sepertinya begitu. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sungguh saya berharap bisa melaknat (tuannya), laknat yang bisa membawanya sampai
ke kuburnya, bagaimana ia mewarisi (anak dalam kandungannya) padahal ia tidak
berhak atas anak tersebut? Bagaimana ia menjadikan (anak tersebut) sebagai
pelayannya (budaknya) padahal ia tidak halal baginya ? (HR. Muslim
No, 2611)
Beliau (Ibnul Qoyyim Rahimahullahu) mengatakan :
“Dan
dalam hadits ini, dalil yang jelas tentang haramnya menikahi wanita hamil, baik
dia hamil dari suaminya, tuannya, (sebab) pernikahan subhat, ataupun dari zina
dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya kecuali di dalam permasalahan
apabila hamil dari zina, maka tentang sah atau tidaknya akad nikah ini ada dua
pendapat” (Zaadul ma’ad , 5/155)
Berikut kita nukilkan
pendapat-pendapat tersebut.
✿ Pendapat pertama
Mayoritas Ulama
diantaranya Al-Imam Malik dan Al-Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya pernikahan
yang dilaksanakan sebelum sang wanita melahirkan, baik oleh laki-laki yang
telah menzinahinya atupun laki-laki lain. Berdasarkan sabda RasulullahShalallahu
Alaihi Wassallam :
لا توطأ حامل حتى تضع
Artinya “Tidak
boleh mendatangi [1] wanita
hamil sampai dia melahirkan” (HR. Abu
Dawud dan Al-Hakim dari Abu Sa’id Rhadiyallahu ‘anhu dan
Dishohihkan Al-Albani dalam Shohih Abi Dawud dan dalam
kitab-kitab beliau lainnya )
Dan juga sabda Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassallam :
من كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فلا يسق ماءه زرع غيره
Artinya : “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Terakhir, janganlah dia mengalirkan
airnya(benihnya) ke tanaman orang lain “ (HR. At-Tirmidzi
dari Ruwaifi bin Tsabit Rhadiyallahu ‘anhu . Dihasankan oleh
Al-Albani dalam Jami’us Shogir No. 6507)
Dan juga berdalil sebagaimana
yang diriwayatkan dari Sa’id bin Al-MusayyabRahimahullahu bahwa ada
seorang pria menikahi seorang wanita, dan ketika dia mendatanginya maka dia
menemukannya telah hamil, maka dia mengangkat masalah ini ke Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam , maka beliau memisahkan keduanya (Hadits ini
Didhoifkan oleh Al-Albani dalam Dho’if Abi dawud No. 2131)
Dan apabila tetap
dilaksanakan akad nikah maka akad nikah tersebut batil (tidak sah) ini juga
adalah fatwa Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad Bin Ibrohim Alu
Syaikh , Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Wushobi [2] dan
juga Lajnah Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta (Dewan tetap untuk
pembahasan dan Fatwa-fatwa) Saudi Arabia yang diketuai oleh Ibnu Baaz Rahimahullahu [3].
Berdalil dengan hadits yang terdahulu dan juga firman Allah ta’ala :
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ
النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Artinya
: “Dan janganlah kamu ber’azam (bertekad) untuk beraqad nikah,
sebelum habis ‘iddahnya. ” (QS. Al-Baqarah : 235)
Dan juga
berdalil juga dengan firman Allah ta’ala :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya” (QS. At-Thalaq : 4)
Dan juga atsar dari
ucapan Umar Rhadiyallahu ‘anhu : ” Siapa saja wanita
yang dinikahi di dalam masa iddahnya, kemudian laki-laki itu mendatanginya maka
pisahkan keduanya . dan tetapkan iddahnya dari laki-laki yang pertama dan dari
yang lainnya (kedua) kemudian dia (laki-laki kedua) tidak boleh menikahi wanita
itu selamanya.” [4]
Dan
diriwayatkan juga dari Ali Rhadiyallahu ‘anhu[5] yang
semisalnya, dan tidak ada yang menyelisihi keduanya. Dikarenakan perbuatan ini
yaitu perbuatan menikahi wanita di masa iddahnya adalah perbuatan tergesa-gesa
untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya. Dan hukuman untuknya adalah wanita
tersebut diharamkan untuknya sebagaimana ahli waris yang membunuh untuk
mendapatkan warisan maka dia diharamkan mendapatkan warisan.
✿ Pendapat
kedua
Dan Al-Imam As-Syafi’I dan Abu Hanifah (dalam satu riwayat)
menganggap bahwa pernikahan wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang
menghamilinya adalah sah dan boleh bagi si lelaki untuk mendatanginya,
karena wanita itu hamil darinya dan tidaklah dia menambah benih diatas benih
orang lain sebagimana larangan dalam hadits.
Adapun apabila yang menikahinya
adalah laki-laki selain yang menghamilinya maka Al-Imam Asy-Syafi’I berpendapat
bolehnya menikahinya dan mendatanginya .karena menurut beliau sesungguhnya
benih laki-laki penzina yang sudah ada di rahim tidak memiliki kehormatan ,
dengan dalil bahwa anak dalam rahim tersebut tidak dinasabkan juga tidak
mewarisi kepada laki-laki yang menghamilinya tersbut . Berdasarkan sabda
nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam :
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak adalah milik (pemilik) tempat tidur , dan
bagi penzina mendapatkan batu ” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Aisyah Rhadiyallahu ‘anha )
Sedangkan Abu
Hanifah Rahimahullahu di satu riwayat lain yang
dinukilkan darinya dan juga Ibnu Hazm Rahimahullahu berpendapat
tidak boleh wanita itu dinikahi sampai melahirkan agar tidak tercampur benih
dengan selain yang menghamili. Dan dalam riwayat yang lain dinukilkan bahwa Abu
Hanifah Rahimahullahu berpendapat pernikahan itu sah tapi
wanita itu tidak boleh didatangi hingga melahirkan. Dan dinukilkan bahwa
pendapat ini juga pendapat Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullahuyaitu
bolehnya wanita tersebut dinikahin akan tetapi tidak boleh didatangin sampai
selesai Iddahnya (yaitu melahirkan) [6].
Ibnu
Hazm berdalil bahwa yang disebutkan dalam Al-Qur’an[7]
adalah dalil iddah untuk wanita yang dithalaq atau ditinggal mati
oleh suaminya, adapun mengenai orang yang hamil karena berzina maka tidak ada
dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang wajibnya iddah untuk
mereka, maka apabila seorang wanita tidak sedang dalam iddah dan tidak pula
memiliki suami maka boleh bagi dia untuk menikah kecuali dilarang oleh dalil
dan dalil itu tidak ada. Adapun larangan mendatangi wanita yang sedang hamil
telah datang dalil tentangnya (hadits-hadits yang telah lewat) , kecuali memang
kehamilan tersebut memang darinya (maka boleh dia mendatanginya).
Dan
dalil-dalil yang dijadikan sandaran para ulama yang memperbolehkan pernikahan
sebelum melahirkan, diantaranya adalah hadits
لا يحرم الحرام الحلال
Artinya : “Dan tidaklah keharaman
mengharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah , dari Ibnu umar
Rhadiyallahu ‘anhuma. Dilemahkan oleh Al-Albani Rahimahullahu dan Ad-Dho’ifah 385-388)
Dan
akad nikah terhadap wanita penzina adalah halal sebelum dia melakukan zina dan
sebelum dia mengalami kehamilan, maka tidaklah perbuatan haram (zina)
menyebabkan yang halal (akad nikah) menjadi haram.
Dan juga diriwayatkan
bahwa ada seorang laki-laki yang memiliki anak laki –laki menikahi wanita yang
memiliki anak wanita, maka anak laki-laki itu berzina dengan anak wanita, maka
umar mencambuk keduanya dan berusaha menikahkannya dan umar tidak berpendapat
tentang harus diselesaikannya iddah, dan tidak ada yang mengingkari umar dan
ini menunjukkan ijma. [8]
Dan
atas pendapat yang mengatakan sahnya pernikahan sebelum wanita melahirkan maka
pendapat yang benar dan kuat tanpa diragukan adalah apabila yang menikahinya
bukan yang menghamilinya, maka tidak boleh mendatanginya sampai dia melahirkan
berdasarkan hadits Shalallahu ‘alaihi wassallam :
لا توطأ حامل حتى تضع
Artinya : “Tidak boleh mendatangi
(melakukan hubungan seks) wanita hamil sampai dia melahirkan” (HR.
Abu Dawud dan Al-Hakim dari Abu Sa’id Rhadiyallahu ‘anhu dan
Dishohihkan Al-Albani dalam Shohih Abi Dawud dan dalam
kitab-kitab beliau lainnya )
Dan hadits Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassallam :
من كان يؤمن بالله واليوم
الآخر فلا يسق ماءه زرع غيره
Artinya : “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Terakhir, janganlah dia mengalirkan airnya ke
tanaman orang lain “ (HR. At-Tirmidzi dari Ruwaifi bin TsabitRhadiyallahu
‘anhu . Dihasankan oleh Al-Albani dalma Jami’us Shogir No. 6507)
Dan
juga hadits hadits Abu Darda Rhadiyallahu ‘anhu :
أَنّ النّبِيّ صَلّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَتَى بِامْرَأَةِ مُجِحّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ ”
لَعَلّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمّ بِهَا ” . فَقَالُوا : نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ
اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ” لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا
يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلّ لَهُ كَيْفَ
يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلّ لَهُ
Artinya : Sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melewati seorang wanita
(tawanan) yang hamil berada di depan tenda besar, lantas beliau bersabda:
Sepertinya tuannya ingin menggaulinya. Mereka (para sahabat) menjawab;
Sepertinya begitu. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sungguh saya berharap bisa melaknat (tuannya), laknat yang bisa membawanya
sampai ke kuburnya, bagaimana ia mewarisi (anak dalam kandungannya) padahal ia
tidak berhak atas anak tersebut? Bagaimana ia menjadikan (anak tersebut)
sebagai pelayannya (budaknya) padahal ia tidak halal baginya ? (HR.
Muslim No, 2611)
Adapun dalil yang mengatakan bahwa benih laki-laki yang
sudah ada di rahim tidak memiliki kehormatan dengan dalil bahwa anak dalam
rahim tersebut tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya dan juga tidak
mewarisi [9] telah
dijawab oleh Ibnu taimiyah bahwa tidak bolehnya mendatangi wanita hamil
tersebut bukanlah dalam rangka menjaga kehormatan laki-laki yang pertama tapi
untuk laki-laki kedua. Karena sesungguhnya seorang insan tidak boleh
dinisbahkan kepadanya seorang anak yang bukan anaknya. [10]
Dan
dari dua pendapat ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama,
yaitu tidak bolehnya menikahi wanita yang sedang hamil baik hamil karena
pernikahn resmi ataupun karena zina berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
As-sunnah dan atsar dari Umar dan Ali Rhadiyallahu ‘anhuma menunjukkan
kuatnya pendapat tersebut. Adapun atsar umar Rhadiyallahu
‘anhu tentang menyatukan dua orang yang telah berzina tidak dengan
jelas menyatakan bahwa menyatukannya dalam masaiddah.
Wallahu
A’lam
Silahkan dibaca juga, Artikel yang lebih lengkap dan terperinci
dari Al-Ustadz Dzulqornain Hafidzahullahu disini
Sumber
Catatan :
- Zaadul ma’ad, Ibnu Qoyyim Rahimahullahu
- Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyah Rahimahullahu
- Fatwa-fatwa
ulama yang tersebar di Internet
________________
[1] Melakukan
hubungan suami istri
[4] Diriwayatkan
oleh As-Syafi’I dan Malik dalam Al-Muwatho’ dan selainnya , Riwayat dari
As-Sayfi’i Dishohihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 2125
[5] Diriwayatkan
oleh Malik dan selainnya, Dishohihkan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 2124
[7] QS.
Al-Baqarah : 235 dan QS. At-Thalaq : 4
[8] Al-Majmu’
(349/17)
[9] Insya
Allah akan dibahas dalam catatan selanjutnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Untaian Nasehat Untukmu. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar