
Penulis
: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
“Kaum
pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan
sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan
disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka…”. (An-Nisa: 34)
Demikian
indahnya tuturan kalam Ilahi di atas menetapkan tatanan hidup yang pasti
mengantarkan kepada kebahagiaan. Namun manusia yang durjana ingin merubah
keindahan tatanan tersebut. Akibatnya musibah datang silih berganti dan
malapetaka semakin meluas. Wanita yang seharusnya tunduk di bawah kepemimpinan
pria menjadi sebaliknya, ia yang memimpin. Padahal Rasul yang mulia Shallallahu ‘alahih wasallam jauh sebelumnya telah berpesan dalam
sabdanya yang agung :
“Tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita”.
(Shahih, HR. Bukhari No. 4425)
Pembaca yang mulia…
Kita tahu setiap rumah tangga butuh seorang pemimpin untuk mengatur keperluan
rumah tersebut berikut penghuninya dan ia bertanggung jawab atas seluruh
penghuni rumah. Karena begitu besar perannya maka ia harus didengar dan ditaati
selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan dengan
hikmah-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa ta’ala memilih pria untuk menjadi
pemimpin tersebut!
“Kaum pria
adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (An-Nisa: 34)
Berkata Al Imam Ath Thabari rahimahullahu menafsirkan ayat di atas: “Kaum pria
merupakan pemimpin bagi para wanita dalam mendidik dan membimbing mereka untuk
melaksanakan kewajiban kepada Allah dan kepada suami-suami mereka. Karena Allah
telah melebihkan kaum pria di atas istri-istri mereka dalam hal pemberian mahar
dan infak (belanja) dari harta mereka guna mencukupi kebutuhan keluarga. Hal
itu merupakan keutamaan Allah tabaraka wa ta`ala kepada kaum pria hingga pantaslah
mereka menjadi pemimpin kaum wanita…”.
Kemudian Al Imam Ath Thabari rahimahullahu menukilkan tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap ayat di atas: “Pria (suami)
merupakan pemimpin wanita (istri) agar wanita itu mentaatinya dalam perkara
yang Allah perintahkan dan mentaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya
dan menjaga hartanya. Bila si istri enggan untuk taat kepada Allah, boleh bagi
suami untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak memberi cacat…”.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan pria lebih utama dari
wanita dengan nafkah yang diberikannya dan usahanya. (Lihat Tafsir Ath Thabari, 5/57-58)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa‘di rahimahullahu berkata setelah membawakan ayat ini
dalam tafsir beliau: “Pria memimpin wanita dengan mengharuskan mereka
menunaikan hak-hak Allah ta‘ala seperti menjaga apa yang diwajibkan Allah dan
mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga memimpin kaum wanita dengan memberi
belanja/nafkah, memberi pakaian dan tempat tinggal”. (Taisir Al Karimir
Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannanhal. 177)
Dari ayat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah lewat, dapatlah dipahami
bahwa pria dijadikan pemimpin bagi wanita karena dua perkara:
Pertama,
Allah telah melebihkan pria atas wanita dari berbagai sisi di antaranya pria
secara khusus diberi wewenang untuk memimpin negara, sementara bila ada wanita
yang memimpin negara maka ditujukan kepadanya sabda Nabi Shallallahu ‘alahih wasallam :
“Tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”.
(Shahih, HR. Bukhari)=Demikian pula dalam masalah kenabian dan kerasulan,
khusus diangkat dari kalangan pria sebagaimana firman-Nya :
“Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad) melainkan
beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka.” (Al-Anbiya: 7)=Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhususkan kaum pria dalam banyak
ibadah seperti jihad, shalat jum‘at dan lainnya. Demikian pula Allah
anugerahkan kepada mereka akal yang kuat, kesabaran dan keteguhan hati yang
tidak dimiliki oleh wanita. (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin
Mannan hal. 177)=Kedua, Allah membebankan kepada pria (suami) untuk menafkahi istrinya .=Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:=“…dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta
mereka…” (An-Nisa: 34)
Beliau menyatakan: (Harta
yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan
pada mereka seperti yang tersebut dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alahih wasallam.
Maka pria lebih utama dari wanita dan ia memiliki kelebihan dan keunggulan di
atas wanita karena itu ia pantas menjadi pemimpin bagi wanita sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di
atas para istri”. (Al-Baqarah: 228)
Ketika menafsirkan ayat di
atas, beliau t menyatakan: “Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri yaitu
dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan mentaati
perintahnya (yakni istri harus taat dengan suaminya selama tidak memerintahkan
untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala), dalam memberikan infak/belanja…. (Tafsir Ibnu Katsir 2/278)
Nabi Shallallahu ‘alahih
wasallam dalam
sabda-sabdanya juga banyak menyinggung kelebihan pria atau suami dibanding
wanita. Di antaranya bisa kita baca berikut ini:
“Seandainya
aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku
perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”(HR. Tirmidzi,
dan dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 926:
hasan shahih)
“Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya akuperintahkan
istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Tuhannya hingga ia
menunaikan hak suaminya seluruhnya. Sampai-sampai seandainya suaminya meminta
dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara dia sedang berada di atas pelana
(yang dipasang di atas unta) dia tidak boleh menolaknya”. (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami` 5295 dan Irwaul Ghalil 1998)
Istri yang menolak ajakan senggama dari suaminya
diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan sabda
beliau: “Jika
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk
datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi”. (Shahih, HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no.1436).
Dalam riwayat Muslim (no. 1436): “Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke
tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit
murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha padanya”.
Nabi Shallallahu ‘alahih
wasallam bersabda
ketika ditanya kriteria istri yang baik:
“Istri
yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika
diperintah dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai
suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya. (HR. Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam As Shahihul Jami` no. 3398, Al Misykat 3272 dan As Shahihah 1838)
Seorang istri tidak diperkenankan puasa sunnah ketika suaminya berada di
rumah kecuali setelah mendapat izin darinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahih
wasallam:
“Tidak
boleh seorang istri puasa sunnah sementara suaminya ada di rumah kecuali
setelah mendapat izin dari suaminya”. (Shahih, HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
Seorang istri diperkenankan keluar rumah untuk shalat
di masjid bila telah mendapatkan izin suaminya. Nabi Shallallahu ‘alahih wasallam menuntunkan: “Apabila istri salah
seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya”.
(Shahih, HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)
Dari beberapa dalil yang telah disebutkan jelaslah bagaimana tingginya
kedudukan seorang suami. Semua itu menunjukkan bahwa suamilah yang berhak
memimpin keluarganya. Dialah yang pantas sebagai nahkoda bagai sebuah bahtera
yang ingin pelayarannya berakhir dengan selamat ke tempat tujuan. Inilah
pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Adil maka tidak pantas
seorang hamba yang mentaati-Nya untuk memprotes ketetapan-Nya. Bukankah Dia
Yang Maha Tinggi telah berfirman:
“Dan
janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada
bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari
apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa: 32)
Wallahu ta‘ala a‘lam
bishshawwab
Sumber : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=81
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Untaian Nasehat Untukmu. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar