
Banyak wanita di jaman ini yang merelakan
dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang
dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah.
Ukhti Muslimah….
Suara
empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar
kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila
wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal
utamanya adalah suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya wanita tersebut
memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Padahal Dia telah memperingatkan:
“Maka
janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan
jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
ma‘ruf.”
(Al Ahzab: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah
bersabda :
"Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan
menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia
terfitnah)”.
(HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh
Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Suara merupakan
bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang
disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh
Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al
Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)
Para wanita diwajibkan untuk menjauhi
setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia
memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka
seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan
untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam
yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan
ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana
tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Ucapan
tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”.
(HR. Al Bukhari
no. 1203 dan Muslim no. 422)
Demikian pula dalam masalah adzan, tidak
disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid
karena hal itu melazimkan suara yang keras.
Ketika terpaksa harus berbicara
dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan
memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat
Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang
kata melebihi keperluan semula.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata
dalam tafsirnya:
“Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan
laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti
suaranya ketika berbicara dengan suaminya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).
Maksud
penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang
kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang
wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya.
Suara
wanita di radio dan telepon.
Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai
penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui
pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang
wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath
(bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan
seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi
kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam:
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita.”
Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan.
Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya
berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian
inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun
mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan
tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak
diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus
berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti
inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta
fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya,
maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan
lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi
yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang
mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka
haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan
pembicaraannya seketika ia menyadarinya.
Sedangkan mengajak bicara wanita
secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut
berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah
orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik
ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah
Al Muslimah, 1/433-434).
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin
menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk
bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon
atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam
keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana
keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari
pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan
bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama
adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.”
(Fatawa Al Mar`ah, 1/435)
Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita
yang telah dipinangnya.
Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang
laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah
teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan
sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara
keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan
suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon
suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga
demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang
laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat
dalam permasalahan ini?
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:”
Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang
telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah
diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian,
sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang
ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari
fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan
pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah
di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada
fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang ma‘ruf.”
(Al-Ahzab: 32)
(Fatawa Al Mar‘ah, 2/605)
(Disusun
dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al Jibrin oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah
bintu Abi Salim).
Sumber : www.asysyariah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Untaian Nasehat Untukmu. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar