
بسم الله الرّحمن الرّحيم
Oleh: Abu Mujahid
Fatimah adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang paling bungsu. Ibunya adalah Khadijah binti Khuwailid
radhiyallahu ‘anha, istri pertama sekaligus satu-satunya istri yang melahirkan
banyak anak untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fatimah sendiri,
dalam salah satu riwayat, memiliki tujuh orang saudara kandung. Mereka adalah
Qasim, Abdullah, Thahir, Thayyib, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Semua saudara
kandung Fatimah yang laki-laki meninggal dunia ketika mereka masih kecil, sedangkan
saudara-saudara perempuannya meninggal dunia ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menetap di Madinah—mendahului wafat ayah mereka.
✿ Menjadi
Saksi Hidup Ayahnya
Lahir beberapa waktu sebelum ayahnya menerima wahyu di
Gua Hira’, Fatimah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Makkah bersama ayah dan
ibunya. Masa-masa itu adalah masa ketika Rasulullah dan para sahabatnya
mendapatkan permusuhan, pengucilan, dan pengusiran dari orang-orang kafir
Quraisy.
Dengan mata kepala sendiri, Fatimah kecil pernah melihat kotoran
unta diletakkan di atas punggung ayahnya ketika sedang sujud di depan Ka’bah.
Sementara orang-orang kafir Quraisy tertawa terbahak-bahak, Fatimah hanya diam
seraya membersihkan kotoran tersebut. Waktu itu, ia telah melihat kesabaran
ayahnya dalam menanggung beban dakwah.
Belum lagi beranjak remaja secara
penuh, Fatimah telah kehilangan ibunya. Khadijah meninggal dunia pada tahun
kesepuluh dari kenabian dalam usia 65 tahun.
Kepergian ibunya itu terjadi
ketika orang-orang kafir Quraisy baru selesai mengucilkan Bani Hasyim yang
masih saja membela sekaligus melindungi Muhammad dan dakwahnya. Pengucilan yang
dimaksud berlangsung selama tiga tahun.
Keadaan mulai berubah sejak kaum
muslimin diperintahkan untuk hijrah ke Yatsrib atau Madinah sekarang. Kehidupan
Rasulullah dan para sahabat mulai beranjak normal. Mereka kembali menata
kehidupan, baik itu kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat mereka.
✿ Menikahi
Seorang Jagoan Perang
Perubahan keadaan itu juga menghampiri Fatimah. Setelah
berdomisili sekitar dua tahun kurang di Madinah, Rasulullah menikahkan putri
bungsunya itu dengan Ali bin Abi Thalib. Seperti yang dikatakan Adz-Dzahabi,
pernikahan itu dilangsungkan setelah terjadi Perang Badar pada bulan Ramadhan
tahun kedua Hijriah.
Dua tahun kehidupan pertama rumah tangga mereka adalah
masa-masa sulit. Tidak seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang pandai berdagang
ke Syam dan Yaman, Ali adalah laki-laki miskin yang sering ditugaskan
Rasulullah dalam banyak ekspedisi militer. Dalam sejumlah ekspedisi itulah, Ali
mendapat bagian harta yang dirampas dari harta-harta musuh Islam untuk
menafkahi keluarganya.
Sebagai suami Fatimah, Ali radhiyallahu ‘anhu tidak
mengambil wanita lain sebagai istri, meskipun sudah biasa bagi seorang
laki-laki Arab waktu itu untuk beristri lebih dari satu. Untuk suaminya itu,
Fatimah kemudian melahirkan tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka
dinamai Hasan, Husein, Muhsin, Ummu Kultsum, Zainab.
Jika Rasulullah
mengabarkan bahwa Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat utama yang
dijamin masuk Surga, sedangkan Hasan dan Husen adalah pemuka-pemuka kalangan
pemuda di Surga nanti oleh Rasulullah, maka Fatimah radhiyallahu ‘anha
Rasulullah kabarkan sebagai salah seorang dari lima wanita anak Adam yang
menjadi pemuka-pemuka para wanita penghuni Surga. Kabar Fatimah seperti ini
dapat kita ketahui berdasarkan salah satu riwayat sahih yang berasal dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dalam salah satu hadits sahih yang diriwayatkan
Imam Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah pernah memberi kabar kepada Fatimah,
“Wahai Fatimah, tidak maukah kau menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin
atau menjadi sebaik-baik wanita umat ini?’.” [H.R. Al-Bukhari nomor 5928 &
Muslim nomor 2450].
Dengan keutamaan seperti itu, wajarlah jika sang ayah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul mencintai Fatimah dan
membelanya—selama diizinkan Allah ‘azza wa jalla. Siapa saja yang menyakitinya
sama saja menyakiti diri sang ayah.
“Fatimah,” kata Rasulullah, “adalah
bagian dariku. Maka, siapa saja yang membuatnya marah, maka ia juga telah
membuatku marah.” Riwayat seperti ini bisa kita lihat dalam Shahih Al-Bukhari
riwayat nomor 3174, 3729, 3767 dan Shahih Muslim riwayat nomor 2449.
Ali yang
sempat berencana melamar putri Abu Jahl ‘Amr bi Hisyam—salah seorang pemuka
musyrikin Quraisy yang tewas pada Perang Badar—pernah mendapat teguran dari
Rasulullah. Kata Rasulullah waktu itu, setelah mendengar laporan dari Fatimah,
“Kunikahkan
Abul Ash bin Ar-Rabi’ (dengan Zainab), maka ia mendatangiku dan membenarkan
aku. Dan, sungguh, Fatimah adalah bagian dariku, sedangkan aku tidak suka jika
ia disakiti. Demi Allah, tidak akan diperistri anak perempuan seorang utusan
Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki.” [HR. Al-Bukhari
nomor 3110, 3729 & Muslim nomor 2449]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membela Fatimah. Karena itulah, selama hidupnya, Ali selalu merasa segan
karena kedudukan Fatimah di sisi Rasulullah. Sampai untuk menanyakan
permasalahan pribadi pun kepada Rasulullah, Ali meminta orang lain untuk
mewakilinya.
✿ Karena Abu Bakar Ash-Shiddiq?
Sepeninggal Rasulullah, Fatimah
meminta ke Abu Bakar tanah milik Rasulullah yang ada di daerah Fadak. Pada
tahun keenam Hijriah, tanah yang dimaksud menjadi milik Rasulullah setelah
peristiwa penaklukan Benteng Khaibar, sebuah daerah tempat kaum Yahudi tinggal.
Bagi
Fatimah, tanah itu merupakan harta warisan Rasulullah yang sudah semestinya
menjadi hak keluarga dan keturunan Rasulullah. Fatimah meminta harta itu,
tetapi permintaan ini ditolak oleh Abu Bakar.
Seperti yang didengarnya
langsung dari Rasulullah, Abu Bakar tahu bahwa para nabi dan rasul tidak
meninggalkan harta warisan ketika wafat. Abu Bakar berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami tidak
mewariskan sesuatu. Apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah. Hanya saja,
keluarga Muhammad tidak makan dari harta seperti ini (shadaqah)’.” [HR.
Al-Bukhari nomor 3093 & Muslim nomor 1759]
Dalam riwayat lain, yang juga
ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sabda Rasulullah itu berbunyi,
“Harta warisanku tidak dibagi-bagikan meskipun itu hanya satu dinar. Apa-apa
yang kutinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pelayanku adalah
shadaqah.” [HR. Al-Bukhari nomor 2776, 3096, 6729 & Muslim nomor 1760]
Hal
inilah yang menjadi dasar penolakan Abu Bakar. Ia pribadi lebih ingin, lebih
memilih, berpegang pada apa yang dikatakan Rasulullah itu. “Demi Allah,” kata
Abu Bakar, “aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang aku lihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan akan pula kulaksanakan.”
Ternyata,
penolakan Abu Bakar itu membuat Fatimah marah dan tidak mau mengajak bicara Abu
Bakar. Keadaan ini berlangsung selama beberapa bulan. Karena menghormati
istrinya, Ali terlihat seperti menjaga jarak dengan Abu Bakar.
Akan tetapi,
sebagaimana yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, keadaan seperti itu berubah
ketika Fatimah mulai sakit pada bulan terakhir hidupnya. Mengetahui sakit itu,
Abu Bakar datang menemui Ali dan meminta izin kepada Fatimah lewat perantaraan
Ali untuk berbicara kepadanya.
Didampingi Ali, Abu Bakar berbicara kepada
Fatimah setelah diberi izin. Maksud pembicaraan itu adalah untuk meminta maaf
kepada Fatimah tentang permasalahan yang terjadi antara mereka.
Abu Bakar
memulai pembicaraan dengan mengucapkan, “Demi Allah, tidaklah kutinggalkan,
rumah, harta, keluarga, dan kerabatku kecuali untuk mengharapkan ridho Allah,
ridho rasulNya, dan ridho kalian, wahai ahlul bait.” Ia mengulang-ulang kalimat
ini sampai Fatimah memaafkannya.
Tidak lama kemudian Fatimah wafat dalam usia
yang sangat muda, 24 tahun. Ali mengurusi jenazahnya. Di malam harinya, jenazah
Fatimah dikuburkan Ali tanpa memberitahu Abu Bakar selaku pemimpin kaum
muslimin waktu itu.
✿ Sikap Ali dan Baiat Keduanya
Menghindari kesan buruk
yang bakal berkembang di tengah kaum muslimin setelah wafatnya Fatimah, Ali
memberitahu Abu Bakar tentang rencananya untuk berbaiat kembali kepada Abu
Bakar. Baiat yang dimaksud akan dilakukan di Masjid Nabi dan disaksikan oleh
kaum muslimin yang ada.
Rencana itu disampaikan Ali dalam sebuah pembicaraan
berdua dengan Abu Bakar, tidak lama setelah wafatnya Fatimah. Dalam pembicaraan
itu, Ali mengatakan,
“Sungguh, kami telah mengetahui keutamaan yang ada pada
Anda dan apa-apa yang telah Allah berikan kepada Anda. Dan kami pun tidak iri
kepada kebaikan yang telah Allah bawakan kepada Anda. Akan tetapi, kalian telah
memaksakan kehendak kalian kepada kami, sedangkan kami memandang bahwa dengan
kekerabatan kami dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami memiliki
bagian dari harta warisan beliau.”
Ali terus berbicara tentang hal itu,
sementara Abu Bakar menangis. Kepada Ali, Abu Bakar akhirnya mengatakan,
“Demi
yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh, dengan kerabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih kusenangi untuk kusambung ketimbang dengan kerabatku
sendiri. Adapun apa-apa yang kita perselisihkan dalam masalah harta warisan
ini, maka sesungguhnya aku tidak pernah mengalihkannya sedikit pun dari
kebaikan dan aku tidak meninggalkan apa-apa yang telah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lakukan kecuali aku pun akan melakukannya.”
Sesuai
rencana, baik Abu Bakar maupun Ali, akan memberikan penjelasan kepada hadirin
tentang permasalahan yang sempat mengemuka antara mereka. Dengan demikian,
diharapkan, tidak akan ada yang menganggap bahwa permasalahan antara mereka
terkait permasalahan kepemimpinan setelah Rasulullah.
Dalam Al-Bidayah wa
An-Nihayah, Ibnu Katsir membawakan sebuah riwayat sahih yang bercerita tentang
jalan acara baiat kedua Ali itu.
“Setelah pelaksanaan shalat Zhuhur, Abu
Bakar naik ke atas mimbar lalu berkhutbah. Sehabis mengucapkan dua kalimat
syahadat, Abu Bakar menyebutkan urusan yang ada pada Ali dan alasan di balik
keterlambatan baiat Ali kepadanya. Ali pun kemudian ganti berbicara. Ia
menyebutkan hak, keutamaan dan kesenioran Abu Bakar. Ali menyebutkan juga,
bahwa keterlambatan baiatnya kepada Abu Bakar bukan karena iri terhadap
kepemimpinan yang ada pada Abu Bakar. Setelah itu, Ali beranjak menuju Abu
Bakar dan membaiatnya.”
Orang-orang yang hadir pada waktu banyak yang datang
ke Ali. Mereka betul-betul menghargai sikap Ali seperti itu. Mereka memuji Ali
seraya mengucapkan, “Ahsanta.”[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Untaian Nasehat Untukmu. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar