Membangun kehidupan rumah
tangga yang harmonis memang menjadi dambaan. Namun tentu saja untuk mencapainya
bukan persoalan mudah. Butuh kesiapan dalam banyak hal terutama dari sisi ilmu
agama. Sesuatu yang mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang suami.
Tidak
salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah berarti menjalani hidup baru.
Karena dalam kehidupan pasca pernikahan memang dijumpai banyak hal yang
sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya semua itu bisa dirasakan
oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah tangga.
Pernikahan juga
merupakan kehidupan orang dewasa. Sebab, banyak hal yang harus dihadapi dan
diselesaikan dengan pikiran orang yang dewasa, bukan dengan pikiran
kanak-kanak. Masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga,
hubungan kemasyarakatan, dan lain sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam
kehidupan mereka yang telah berkeluarga.
Maka, tidak salah pula bila
dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi
pihak suami sebagai qawwam (pemimpin) bagi keluarganya. Karena
dengan ilmu yang disertai amalan, akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan
kehidupan. Namun sangat disayangkan, sisi yang satu ini sering luput
dari persiapan dan sering terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi
pasca pernikahan.
✿ Pendidikan Keluarga
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Kaum laki-laki (suami) adalah
qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita (istri).?
(An-Nisaa’: 34)
Salah satu
tugas suami sebagai qawwam adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan
anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, dan mengenalkan mereka
kepada kebenaran. Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.?
(At-Tahrim: 6)
Menjaga
keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara
mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa
kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, serta melarang mereka dari bermaksiat
kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang
di-fardhu-kan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bila ia mendapati mereka
berbuat maksiat segera dinasehati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari,
28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di
rahimahullah berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan
mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah, melaksanakan
apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan bertaubat dari perkara
yang mendatangkan murka dan adzab-Nya. Di samping itu, menjaga istri dan
anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa
mereka untuk taat kepada perintah Allah. Seorang hamba tidak akan selamat
kecuali bila ia menegakkan perkara Allah pada dirinya dan pada orang-orang yang
berada di bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.?
(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)
Ayat ini menunjukkan wajibnya suami
mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama dan kebaikan serta adab
yang dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Azza wa Jalla �
kepada Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Perintahkanlah
keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.?
(Thaha: 132)
“Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.?
(Asy-Syu`ara: 214)
Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita
memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam hal memperoleh pengajaran dan
pengarahan untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla. (Ahkamul Qur’an, 3/697)
Malik
Ibnul Huwairits radiyallahu ‘anhu mengabarkan: “Kami mendatangi Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang
sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam.
Kami mendapati beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang
penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami
telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau
pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur
dari lisan kami. Setelahnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kembalilah
kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka,
serta perintahkanlah mereka.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim
no. 674)
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kepada shahabatnya untuk memberikan taklim (pengajaran) kepada
keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis
dengan seorang ‘alim.
Dengan penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami
bahwa seorang suami/ kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk
mendidik anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan
mereka dari penyimpangan.
Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita
lihat banyak kepala keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka
hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka tenggelam
dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk
dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia,
bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti
tentang agama.
Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa mengajari
keluarganya, mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya, ia
mencarikan pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke
majelis taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/ taklim sesuai
dengan kemampuannya, dan menganjurkan keluarganya untuk membaca/ mendengarnya.
✿ Mendidik
Istri
Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya seorang suami
telah merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia mempunyai
pandangan ke arah sana. Dan sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah
menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena:
“Ibu
adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya?, kata penyair Arab.
Perlu
juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak
istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita
yang harus ditunaikan walinya. Namun pada prakteknya, hak ini seringkali tidak
terpenuhi sebagaimana mestinya. Sehingga tepat sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil
bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam
mengurusi wanita:
Pertama: Mereka yang melepaskan wanita
begitu saja sekehendaknya, membiarkannya bepergian jauh tanpa mahram,
bercampur baur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti
kantor dan di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum
muslimin.
Kedua: Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa
taklim (pengajaran), membiarkannya seperti binatang ternak, sehingga
ia tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Allah bebankan padanya. Wanita seperti
ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan penyelisihan terhadap
perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, bahkan akan merusak keluarganya.
Ketiga: Mereka
yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan Al
Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa
Ta’aala :
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.?
(At- Tahrim: 6)
Dan karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/ dimintai
tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.?
(Shahih, HR. Al-Bukhari no.
893 dan Muslim no. 1829)
(Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah
Al-Wadi`iyyah, hal. 7-8)
Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang
dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya, tentang tauhid,
bahaya syirik, maksiat dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri menyediakan waktu khusus untuk
mengajari para wanita. Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu berkata: “Datang
seorang wanita kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia
berkata:
“’Wahai Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu,
maka berikanlah untuk kami satu hari yang khusus di mana kami dapat
mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang Allah telah ajarkan padamu.’
Beliau pun bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu di tempat ini
(yakni beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu)’. Hingga mereka pun
berkumpul pada hari dan tempat yang dijanjikan untuk mengambil ilmu dari beliau
sesuai dengan apa yang diajarkan Allah kepada beliau.? (Shahih, HR. Al-Bukhari
no. 101 dan Muslim no. 2633)
Bahkan istri-istri Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam “lahir? dari madrasah nubuwwah dan mereka menuai bekal
ilmu yang banyak terutama Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anha yang besar
dalam asuhan madrasah yang mulia ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam, mereka menjadi pendidik umat bersama dengan para
shahabat yang lain, semoga Allah meridhai mereka.
✿ Gambaran Pengajaran
Seorang ‘Alim terhadap Keluarga Mereka
Para pendahulu kita yang shalih (salafunash
shalih) sangat mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di
samping mereka berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan
orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan
manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga
melalaikan pendidikan istrinya.
Bahkan sangat disayangkan hal ini juga
menimpa keluarga da‘i. Ia sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara
istrinya di rumah tidak mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak tahu cara menghilangkan najis, dan
sebagainya. Yang lebih parah, istri atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid
dan syirik. Bandingkan dengan apa yang ada pada salaf!
Lihatlah keluarga Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Beliau demikian bersemangat
menyebarkan ilmu di tengah keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya
menyampaikan ilmu kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar
rumah dan dalam menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim
kepada keluarganya. Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau
orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti: saudara
perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-’Asqalani,
istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya
Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi`ah. (Inayatun Nisa bil
Haditsin Nabawi, hal. 126-127)
Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul
Musayyab rahimahullah membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian
ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah
orang yang paling hapal dengan kitabullah, paling mengilmuinya, dan paling tahu
tentang hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)
Demikian pula
kisah keilmuan putri Al-Imam Malik rahimahullah. Dengan
bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththa’ karya sang Imam. Bila ada
murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththa’ di hadapan beliau, putrinya
berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika ada
kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk
pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca: “Ulangi
bacaanmu karena ada kekeliruan?. (Inayatun Nisa’, hal. 121)
Perhatian
pendahulu kita rahimahumullah terhadap pendidikan keluarganya ternyata juga
kita dapatkan dari ulama yang hidup di zaman kita ini, sepertiAsy-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah. Dalam sehari beliau
menyempatkan waktu untuk mengajari anak istrinya tentang perkara-perkara agama
yang mereka butuhkan, hingga mereka mapan dalam ilmu dan dapat memberi faedah
kepada saudara mereka sesama muslimah dalam majelis yang mereka adakan atau
dari karya tulis yang mereka hasilkan. Demikian kisah ulama kita dengan
keluarganya, lalu di mana tempat kita bila dibanding dengan mereka ?
Wallahu
ta‘ala a‘lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar