بسم الله الرحمن الرحيم
Entah berapa tumpuk masalah yang harus ia hadapi hari itu.
Ada-ada saja persoalan yang muncul. Santri nakal lah, melanggar aturan, kondisi
dapur dan logistik yang menyedihkan, kekurangan staf pengajar, pengawas santri
yang sering absen, ruang tamu yang tidak memadai belum lagi omongan negatif
dari tetangga-tetangga.
Lengkap sudah.
Hari sudah
menjelang senja. Laki-laki itu akhirnya memutuskan pulang. Sepeda motor yang ia kendarai hanya pelan mengalir. Mungkin 15 km/ jam saja sampai. Berberda dengan kebiasaanya yang selalu memacu gas.
Sejak roda motor
berpisah dari garis gerbang pesantren tempat ia berkhidmat, pandangannya kosong
tak terfokus. Arah matanya ke depan akan tetapi pikirannya masih saja ke
belakang, ke arah pesantrennya. Untung saja, di sepanjang perjalanan tidak ada
pohon yang ia tabrak.
Laki-laki itu tak kuasa menyembunyikan
segudang masalah yang menumpuk di pikirannya. Tiada senyum menghias bibir.
Pancaran berseri dari wajahnya menghilang bersamaan dengan datangnya gelap di
ufuk timur, menggantikan warna teja sang surya di ujung barat.
Sayang,
wajah penuh kerut dan kikir senyum itu justru tidak bisa hilang saat ia tiba di
rumahnya.
“Ah, ada apa dengan suamiku? Jangan-jangan marah sama diriku?
Nggak seperti biasanya. Diem saja. Nggak ada senyum”, istrinya membatin di
dalam hati.
Anak-anaknya juga terlihat gelisah. Menyaksikan wajah sang
ayah, masing-masing khawatir dan cemas-cemas kecut. ”Jangan-jangan Abah sedang
marah sama kita”, masing-masing saling berbisik.
Suasana rumah itu
berubah menjadi sunyi penuh ketegangan. Tak ada yang berani bersuara. Bahkan,
anaknya yang paling kecil pun sirna keceriaannya. Laksana kuburan yang baru
saja ditinggalkan sekelompok pentakziyah.
Antara Maghrib dan Isya’.
Suasana
rumah masih penuh ketegangan. Tetap saja tidak ada perbincangan di antara
anggota keluarga. Padahal, hari-harinya rumah itu selalu riang gembira.
Sampai-sampai beberapa tetangga terheran-heran, kenapa bisa rumah itu selalu
terdengar canda tawa darinya. Namun, malam itu suasana rumah seperti sudah
menjelang dini hari. Padahal adzan Isya’ saja belum dikumandangkan.
Adzan
Isya’ membahana. Saling bertautan dari satu corong toa beralih ke corong toa
lainnya. Seolah-olah tiap kampung berlomba-lomba untuk memanggil kaum muslimin
menghadap Sang Pencipta.
Laki-laki itu berjalan gontai menuju masjid
kampungnya. Masih saja segudang masalah di pikirannya terparkir. Bertahan kuat,
sekuat seorang tentara bergelantungan di tali penghubung antara dua tebing
curam.
Sesampainya di rumah selepas shalat Isya’.
“Mas, aku minta maaf.
Salahku kepadamu memang sangat banyak. Tapi, aku dan anak-anakmu tak bisa
melihat wajahmu yang sedemikian ruwet. Kalau ada salah kami, beritahukanlah
kami. Apapun yang engkau inginkan, pasti akan kami lakukan. Asalkan engkau
kembali riang”, istrinya tidak mampu lagi menahan jeritan hati.
Laki-laki
itu menghela napas sambil berbisik di dalam hatinya sendiri, ”Astaghfirullah.
Ya Allah, apakah hanya karena segudang masalah lalu aku harus mengabaikan dan
menelantarkan keluargaku?”
“Tidak! Abah tidak marah kepada kalian. Tidak
ada salah sedikit pun yang kalian lakukan. Abah hanya terbawa oleh segudang
masalah di pesantren. Abah yang semestinya minta maaf kepada kalian. Sungguh,
Abah tidak ingin menyakiti hati kalian”, laki-laki itu mencoba menghibur.
“Sudahlah. Ayo, malam ini pengen makan apa? Sate Cak Munali di ujung pertigaan
Tipes? Bakso Bambang di sebelah Makro? Soto Lamongan di Baron? Atau beli nasi
kucing di warung Pak Sugeng?”, laki-laki itu berusaha mencairkan suasana
kebekuan rumah.
Bagai sinar matahari yang menggeser awan mendung, rumah itu
langsung berubah riang. Laki-laki itu mulai melucu dan membuat dagelan.
Istrinya tertawa terpingkal-pingkal. Anak-anaknya pun memegang perut menahan
lucu.
Rumah itu kembali hidup dari ambang kematiannya.
Masih terngiang di
telinga laki-laki itu ucapan istrinya,
”Senyum dan canda tawamu sudah cukup, Mas. Aku tidak berharap harta. Aku tidak
berharap perhiasan. Aku sudah cukup berbahagia jika melihat canda tawa dan
senyummu setiap waktu”
Ya, wanita memang makhluk yang sensitif. Perasa dan
lemah lembut. Sebuah kata kasar saja bisa melukai perasaannya. Bahkan kata
kasar itu tidak akan mungkin ia lupakan. Apalagi lebih dari sebuah kata yang
kasar. Betapa hancur perasaan seorang wanita. Wahai suami, banyak-banyaklah
merenungi kesalahan kita kepada istri tercinta.
Senyum Saja Sudah Cukup
Mas :
(ditulis oleh Ustadzuna Mukhtar, bersumber dari pengakuan seorang
pengajar di sebuah pesantren Salaf)
0 komentar:
Posting Komentar